Babarengan.com – Kearifan lokal kerap menjadi identitas unik suatu daerah, mencerminkan nilai dan budaya masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang masih terus hidup di tengah masyarakat Sunda, Jawa Barat, adalah botram. Tradisi ini biasanya dilakukan dalam suasana kebersamaan, terutama saat perayaan Hari Raya Idulfitri. Lebih dari sekadar makan bersama, botram memperkuat tali silaturahmi dan kebersamaan di antara keluarga, tetangga, maupun sahabat.
Dalam pelaksanaannya, botram identik dengan sajian makanan khas Sunda. Daun pisang yang disusun panjang menjadi alas makan menggantikan piring. Di atasnya, berbagai lauk disusun berjejer. Nasi liwet, ikan asin, ikan goreng, tempe orek, sambal, lalapan, dan kerupuk menjadi sajian utama yang menggugah selera. Menariknya, setiap peserta membawa masakan dari rumah masing-masing. Setelah berkumpul, makanan tersebut digabungkan dan disantap bersama-sama.
Sebelum acara dimulai, biasanya ada sesi sambutan dari sesepuh atau tokoh yang dihormati. Setelah itu, seluruh peserta melakukan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur. Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan emosional, tetapi juga menumbuhkan semangat gotong royong dan kebersamaan.
Secara etimologis, asal usul kata botram masih menjadi perdebatan. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa istilah ini berasal dari kata boterham dalam bahasa Belanda, yang berarti irisan roti isi mentega dan ham. Konsep makan praktis seperti ini biasa dilakukan saat piknik, sehingga kemungkinan besar menjadi cikal bakal dari botram yang identik dengan kegiatan makan bersama di luar ruangan. Lokasi pelaksanaannya pun beragam, mulai dari halaman rumah, pantai, hingga tempat wisata.
Kendati zaman terus berubah, tradisi botram tetap bertahan dan bahkan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Kini, tidak sulit menemukan botram dilakukan di lingkungan perkotaan. Bahkan, sejumlah restoran di kota besar mengusung konsep botram sebagai daya tarik utama, lengkap dengan penyajian makanan khas Sunda di atas daun pisang.
Kepraktisan menjadi salah satu alasan utama mengapa botram masih digemari. Dengan daun pisang sebagai alas, peserta tidak perlu repot mencuci piring setelah makan. Selain itu, nuansa kebersamaan yang tercipta dalam tradisi ini sulit tergantikan oleh bentuk komunikasi modern. Tawa, obrolan santai, dan kebersamaan dalam menyantap makanan menciptakan pengalaman yang tak terlupakan.
Di era digital saat ini, interaksi sosial kerap tergantikan oleh teknologi. Namun, botram hadir sebagai pengingat bahwa kebersamaan secara langsung tetap penting dan memiliki nilai yang tidak bisa digantikan oleh layar gawai. Tradisi ini menjadi sarana memperkuat hubungan sosial secara nyata, jauh dari kesan formal dan penuh kehangatan.
Melestarikan botram berarti menjaga warisan budaya yang sarat nilai kebersamaan. Di tengah modernisasi yang kian pesat, botram membuktikan bahwa tradisi lokal tetap relevan, bahkan mampu beradaptasi dan hidup berdampingan dengan perkembangan zaman.