Babarengan.com – Suku Baduy Dalam yang mendiami kawasan pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, dikenal luas sebagai kelompok masyarakat yang teguh memegang adat istiadat leluhur. Salah satu tradisi yang tetap lestari hingga kini adalah prosesi pernikahan. Tradisi pernikahan Baduy Dalam ini tidak hanya menjadi pengikat hubungan antara dua insan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial yang dijunjung tinggi oleh komunitas Baduy Dalam.
Pernikahan dalam budaya Baduy Dalam bukan sekadar seremoni, melainkan proses panjang yang melibatkan berbagai tahapan adat. Mulai dari masa penjajakan, lamaran, hingga akad pernikahan, semua dilangsungkan sesuai ketentuan adat yang diwariskan turun-temurun. Setiap tahap memiliki makna tersendiri yang sarat akan simbol kesederhanaan dan penghormatan terhadap leluhur.
Salah satu ciri khas pernikahan Baduy Dalam adalah larangan menggunakan perlengkapan modern. Seluruh proses dijalankan tanpa bantuan teknologi maupun benda buatan pabrik. Pakaian yang dikenakan pun harus ditenun sendiri oleh keluarga mempelai perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai kemandirian dan keaslian tetap menjadi landasan utama dalam kehidupan sosial masyarakat Baduy.
Acara pernikahan biasanya berlangsung selama beberapa hari, dimulai dari pengumuman kepada seluruh warga kampung. Setelah itu, keluarga laki-laki akan mengunjungi rumah perempuan untuk menyampaikan maksud lamaran. Prosesi ini dilakukan dengan penuh kesopanan dan tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Dalam masyarakat Baduy Dalam, pernikahan bukan hanya urusan individu, melainkan kepentingan bersama yang melibatkan seluruh komunitas.
Uniknya, pasangan yang hendak menikah tidak boleh memilih sendiri calon pasangannya. Perjodohan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua dan tokoh adat. Meski terdengar kaku, sistem ini justru memperkuat harmoni sosial dan menekan potensi konflik antarwarga. Ketaatan terhadap keputusan adat menjadi fondasi kuat dalam membangun rumah tangga yang rukun.
Selain itu, usia pernikahan juga ditentukan oleh adat. Umumnya, laki-laki diperbolehkan menikah setelah dianggap dewasa secara adat, bukan berdasarkan usia angka. Hal ini berbeda dengan konsep umum di masyarakat luar yang mengacu pada usia resmi. Ukuran kedewasaan dalam budaya Baduy lebih menitikberatkan pada kesiapan mental dan tanggung jawab sosial.
Dalam prosesi akad, tidak ada pertukaran cincin atau mahar dalam bentuk uang. Sebagai gantinya, keluarga mempelai laki-laki memberikan hasil pertanian atau barang kebutuhan sehari-hari sebagai bentuk penghormatan. Simbol ini mencerminkan nilai kesederhanaan dan saling membantu antar keluarga.
Setelah pernikahan dilangsungkan, pasangan pengantin wajib tinggal di kampung halaman istri selama beberapa waktu. Mereka akan mengikuti serangkaian kegiatan adat sebagai bentuk pengenalan terhadap keluarga dan lingkungan baru. Kegiatan ini diyakini mampu mempererat hubungan antara dua keluarga besar yang disatukan oleh pernikahan.
Budaya pernikahan Baduy Dalam mencerminkan tatanan masyarakat yang masih kokoh menjaga nilai-nilai tradisional di tengah arus modernisasi. Dengan mempertahankan keaslian adat, masyarakat Baduy tidak hanya menjaga identitas budaya, tetapi juga memberi pelajaran tentang pentingnya kesederhanaan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap warisan leluhur.