Salah satu tradisi penting dalam kehidupan masyarakat Nias adalah upacara kelahiran. Proses ini tidak hanya menandai hadirnya anggota keluarga baru, tetapi juga disertai berbagai aturan adat yang ketat. Dalam kepercayaan mereka, seorang ere atau dukun memiliki peran utama selama kehamilan hingga persalinan. Ia membuat patung-patung simbolis dan mengucapkan mantra untuk mengusir roh jahat seperti maciana, sosok yang diyakini sebagai arwah perempuan yang meninggal saat melahirkan. Setelah kelahiran, dilakukan jamuan kecil sebagai bentuk terima kasih kepada para perempuan yang membantu proses persalinan.
Selanjutnya, upacara perkawinan menjadi momen sakral yang melibatkan seluruh keluarga besar kedua mempelai. Pertunangan atau famatuasa diawali oleh inisiatif keluarga laki-laki. Perempuan utusan akan membawa sirih sebagai simbol niat baik kepada keluarga calon pengantin perempuan. Setelah kesepakatan tercapai, proses penyerahan emas jujuran pun dilakukan. Jumlah emas sering kali menjadi bahan pertimbangan dalam perundingan, yang dilanjutkan dengan pesta adat bernama orahu di dua lokasi: rumah mempelai perempuan dan mempelai laki-laki.
Sementara itu, upacara kematian memiliki tata cara yang berbeda tergantung pada status sosial almarhum. Jika yang wafat merupakan bangsawan, maka berbagai alat musik tradisional seperti gong dan gendang akan ditabuh, serta diadakan tarian khusus seperti mamualö dan sifomanu. Kaum laki-laki tampil mengenakan pakaian adat lengkap, sementara para wanita melantunkan ratapan duka. Selama masa berkabung, keluarga yang ditinggalkan mendapat dukungan makanan dari kerabat sebagai bentuk solidaritas, sebuah tradisi yang dikenal sebagai folosi we mata.
Tak kalah penting, masyarakat Nias juga mengenal pesta adat besar seperti owasa dan börö nadu. Owasa bertujuan mendapatkan kehormatan dan gelar, sedangkan börö nadu berakar pada kisah penciptaan suku Nias. Dalam pesta tersebut, tuan rumah menunjukkan kekayaan melalui emas dan babi dalam jumlah besar.
Dalam konteks ekonomi, upacara mata pencaharian dilakukan untuk memohon berkah atas usaha mereka. Upacara seperti famohu tanö (membuka hutan), fanekhe basitö (memulai panen), dan famalö (berburu) dilaksanakan sebagai wujud komunikasi dengan leluhur dan penguasa alam.
Ketika desa dilanda wabah, masyarakat melaksanakan upacara tolak bala. Tuhenöri dan ere memimpin prosesi persembahan kepada para dewa agar desa terbebas dari malapetaka.
Ragam upacara adat Nias ini mencerminkan betapa masyarakat Nias menjunjung tinggi warisan budaya mereka. Setiap prosesi tidak hanya sebagai simbol tradisi, tetapi juga sebagai cermin hubungan spiritual dan sosial yang kuat dalam kehidupan sehari-hari.